SEMUA DI SINI:

Se.la.mat da.tang = wel.come


Kamis, 31 Maret 2011

Aku Selalu Menelusuri Jalan Ini

Aku selalu menelusuri jalan ini. Hampir ratusan, bahkan ribuan kalinya. Entahlah apa yang bisa membuatku melakukan itu, aku rasa jawabannya ada pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah dirinya.Lelaki itu, Lelaki yang selalu membuatku ingin terus menelusuri jalan ini.

Hmmmm, aku tidak dapat memungkiri kesejukan batinku acap kali aku melewati jalan ini. Wangi pohon cendana di samping kanan-kiri jalan, keteduhan dedaunan yang seakan-akan melindungiku dari terik atau rintiknya hujan, juga bayangan akan hadirnya Lelaki itu di benakku.

Aku masih ingat kata penutupnya saat itu. Kami sengaja bertemu di Restoran untuk membicarakan hal-hal yang menurutku tidak penting. Akan tetapi, itu penting baginya. Lelaki itu begitu memesona, hingga aku tidak dapat menghindari pertemuan itu, tidak juga bisa menghindari tatapan matanya yang begitu memancing kegembiraanku. Hatiku takluk, hingga berlutut padanya saat ia menyebut namaku. Ya, Aku mencintai Lelaki itu.

“Ry, kamu sudah tahu semuanya bukan?” Kata Lelaki itu sambil menatap dalam mataku
“Hei, jangan pandang aku sepeti itu!! Aku risih.” aku berbohong.
“Jawab Ry, please”
“Ya aku tahu. Bahkan aku jauh lebih tahu sebelum kau memberitahu ku”
“Mengapa kau tidak memberitahuku kalau kau memang sudah tahu?”
“Bukan urusanmu” Jawabku sambil memalingkan mukaku terhadapnya
“Tapi itu urusan kita, tidak lagi urusanmu”
“Kau tak berhak atas urusanku, dan ini bukan menyangkut urusan kita. Cobalah kau gunakan akal sehatmu.”
“Akal sehatku sudah cukup baik sehingga aku bisa menanyakan ini kepadamu”
“Tidak, akal sehatmu tidak baik untuk saat ini”
“Cukup Ry, aku ingin kau pergi meninggalkanku.”

Sontak hatiku mencair bak salju yang terpecik sinarnya musim semi.Aku memang tidak kaget mendengar pernyataan itu, namun hatiku terasa sakit. Rasanya kandungan air yang terdapat di dalam tubuhku ingin menunjukan kemurniannya melalui mata ini.
“Kau saja yang pergi. Aku tidak bisa”
“Aku juga tidak bisa” Jawabnya dengan pucat pasi
“Lalu,kenapa kau menyuruhku?. Lakukan saja sendiri jika memang kau bisa.Egois!”
“Aku mencintaimu, karena itulah aku tidak bisa” ucapnya menyerah
“Aku juga mencintaimu, karena itu juga aku tidak bisa” ucapku lirih

Lalu, tangan kami berpegang satu sama lain, dan sedikit gugup. Aku bisa merasakan batinnya yang tersiksa, aku yakin Lelaki itu juga merasakan begitu. Kami saling berpandangan, kami juga saling melihat airmata yang jatuh dari mata kami. Kemudian Lelaki itu merunduk, merogoh kantung celananya yang hitam. Aku bisa melihat celananya dari balik meja yang terbuat dari kaca. Begitu licin, dan rapi. Lelaki itu akan selalu rapi seperti itu di hadapan siapa pun. Itulah mengapa dia begitu berbeda dari lelaki lainnya yang ku kenal. Kemudian, Lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah. Dibukanya kotak tersebut dan Lelaki itu mengeluarkan sesuatu di dalamnya. Sebuah kalung.

“Pakai ini”
“Untuk apa? untuk merayakan perpisahan kita???!!” kataku hendak keluar dari ruangan ini
“Aku tidak mengatakan bahwa kalung ini untuk perpisahan kita. Jangan pergi, ku mohon” pintanya
“Kau juga belum mengatakan iya…”
“Pakailah, untukku. “ Lelaki itu berdiri dan menyisir rambutku kemudian memakaikan kalung tersebut ke leherku.

Tanpa sadar airmataku kembali mengalir. Lelaki itu memeluk diriku begitu erat, dan aku dapat merasakan betapa tulangnya bisa meremukan badanku. Lalu, Lelaki itu menciumku begitu hangat, begitu tulus. Aku tahu ini petanda apa, namun diam-diam aku merahasiakannya lagi dengan tidak memberitahukannya dengan alasan yang sama, ini urusanku.
“Aku- aku mencintaimu sama seperti kau mencintaiku. Aku memikirkanmu sama seperti kau sedang memikirkanku. Aku merindukanmu sama seperti kau sedang merindukanku. Aku takut kehilanganmu, sama seperti kau takut kehilanganku.” kataku tertatih
“Apa kau juga akan meninggalkanku sama seperti aku yang akan meninggalkanmu?”
“Ya, aku akan meninggalkanmu.” jawabku seraya menghapus airmata ini

*****

Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu dengan Lelaki itu. Tidak ada komunikasi di antara kami. Aku tidak merasa hubungan yang sudah terjalin lebih dari lima tahun ini berjalan dengan sia-sia begitu saja. Kami sudah cukup dewasa untuk mengatasinya. Aku percaya saat ini Lelaki itu berada di tempat yang paling baik, sama seperti aku di sini. Jangan tanya lagi perasaanku seperti apa, sama sakitnya seperti terakhir kali aku bertemu. Hubungan ini putus secara alami, alam-lah yang telah memisahkan kita.
“Hei Ry, sedang melamun apa?” tanya Neima, best friend.
“Aku gak ngelamunin apa-apa.” jawabku sambil senyum simpul
“kamu sudah tahu, Ry?”
“Tahu apa, ya?” tanyaku penasaran
“Maaf kalo aku harus bicara tentang ini. Aku dapat kabar kalau Lelakimu itu-- maksudku, Endrew meninggal pukul dua tadi karena gagal ginjal. Aku turut berduka cita. Kamu sudah tahu?
“Oh ya, aku tahu. Memang sudah lama Endrew mengidap penyakit itu. Thanks..”
“Sama-sama Ry. Eh iya, kamu gak pulang?”
“Sebentar lagi kok, kamu duluan aja” kali ini kataku sambil memaksakan senyuman

Sejujurnya, aku tidak pernah mengetahui kabar itu, meninggalnya Endrew, dari siapa pun. Aku berbohong seolah-olah aku mengetahuinya. Berbohong pada diriku sendiri. Biarlah.

Seperti biasa, sepulang kerja aku selalu melewati jalan ini. Seperti yang kukatakan juga, hampir ratusan bahkan ribuan kalinya. Jalan ini selalu sepi jika menjelang malam, memang begitu keadannya. Tiba-tiba perasaanku ada agak ganjil. Aku merasa seperti ada yang mengikuti. Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang, karena ada sebuah tangan yang mendarat begitu saja ke bahuku.
“Maaf Miss, kurasa ini punyamu” seorang anak belia menunjukan sebuah kalung kepada ku.
Aku pun memperhatikan kalung itu dan meraba leherku. Tepat sekali, kalungku terjatuh.
“Oh iya, ini memang punyaku. Terima kasih, hampir saja aku kehilangannya.”
“Apa itu sangat berharga?” tanyanya penasaran
“Sangat, hidupku ada yang kurang bila tanpa ini. Aku bisa saja kehilangan sebagian hidupku bahkan seluruhnya jika tak ada kalung ini. Hei, siapa namamu?”
“Namaku Diary, orangtuaku bilang nama itu sangat bagus. Mereka berharap, aku bisa menjaga kejadian yang terjadi di setiap hidupku. Juga menutup lembaran pahit di dalam hidupku.Ya begitulah. Dan namamu, Miss---?”
“Aku terkejut mendengarnya, namaku sama sepertimu. Diary. Sepertinya aku merasa nama itu agak pasaran ya. Baiklah semoga kita bisa bertemu lagi. Terima kasih dan selamat sore,Diary.” Sebuah senyum ku lontarkan kepadanya
“Sore juga, Miss Diary” Sebuah senyum juga kudapatkan dari gadis belia itu. [FP]

Jumat, 18 Februari 2011

Be Brave, Hopes..

Keiinginan yang besar harus dilandaskan dengan usaha yang besar pula. Bukan hanya sekedar berharap, namun tetap harus memperhatikan konsistensi bagaimana menerapkan setiap proses di dalam kehidupan sehari-hari. Jika berbicara mengenai keinginan, ada satu hal yang benar-benar saya dambakan, bahkan bisa terbilang ‘impian’. Yaitu menjadi VOA atau yang biasa dikenal sebagai wartawan yang bekerja di negara lain.

Tulisan ini akan saya dedikasikan kepada orang-orang –mungkin juga Anda- yang ingin membaca tulisan saya. Dengan berbagi tentang keinginan ini, saya berharap kita dapat mengejawantahkan setiap keinginan kita. Saya juga berharap, selangkah demi selangkah kita dapat mewujudkan itu semua. Selain itu, tulisan ini juga saya tujukan untuk saya sendiri. Agar apa? agar saya dapat melihat progress di dalam diri saya, sudah sejauh manakah menggapai semua itu dan terus memberikan keyakinan di dalam hati.

Yang menjadi sebuah pertanyaan, mengapa saya memilih, atau lebih tepatnya bercita-cita, bekerja sebagai wartawan luar negeri? jawabannya hanya satu, saya tertarik di dalam bidang jurnalistik. Secara garis besar, berkecimpung di bidang itu akan mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan saya. Saya tidak ingin menjadi katak dalam tempurung, hanya mengenal lingkungan sekitar dan tidak tahu menahu tentang dunia luar. Untuk itulah ini menjadi bermanfaat bagi saya, yaitu saya dapat memiliki link atau koneksi terhadap orang-orang yang memiliki taste yang tinggi.

Berbicara tentang situasi, yang pasti saya menginginkan situasi yang berbeda. Berbeda yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bekerja menurut standar dan kebiasaan orang-orang di luar negeri. Katanya, orang di negara lain sana bekerja lebih fleksibel namun tetap menjaga kedisiplinan yang sangat tinggi. Saya sangat salut mendengar pernyataan itu,dan saya rasa itu suatu tantangan besar bagi saya, orang Indonesia. Untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi di sana, saya rasa saya perlu banyak membaca buku sebagai referensi untuk menghadapi dunia kerja. Salah satu buku rujukan yang menurut saya baik adalah buku yang berjudul “Seven Habits of Highly Effective People“ karta Stephen Corvey. Ya, semoga saja itu merupakan jalan yang benar untuk menuju ke situasi di dalam pekerjaan nanti.

Masalah tempat di mana pun merupakan bukan masalah yang besar bagi saya. Jika naluri seorang jurnalis sudah terasah dengan baik, dalam situasi genting pun kita dapat menunjukkan performa yang baik pula. Misal, nantinya saya akan ditempatkan di sebuah negara yang sedang terjadi gejolak internal di dalam pemerintahan itu. Tidak masalah, karena sekecil atau sebesar apa pun situasi dan kondisi di sana saya tetap harus bisa memberikan informasi yang aktual dan sesuai dengan realita kepada publik. Suatu hal yang mulia, bukan?.

Itulah yang menjadi sebuah keinginan saya. Keinginan yang akan saya totalitas-kan agar saya bisa menjadi orang yang bernilai di mata siapa pun yang melihat. Karena pada dasarnya saya berprinsip bahwa tinggi atau rendahnya martabat seseorang bukan dilihat kesuksesannya, melainkan sejauh mana orang itu dapat bernilai di mata orang lain. Semoga semuanya menjadi kenyataan. Saya berharap.